Penurunan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) patut disesalkan karena mengabaikan fakta bahwa likuiditas perbankan di Indonesia sudah sangat ketat. Lihatlah permasalahan yang dihadapi oleh bank BTN yang disebabkan oleh loan to deposit ratio (LDR) yang sudah di atas 111%, yang pada gilirannya menghantam labanya.
Dampak negatif penurunan tingkat suku bunga kerap diabaikan oleh Bank Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena pembuat kebijakan moneter menganggap cost capital sebagai paradigma utama kebijakan tingkat suku bunga dalam konteks penyaluran pinjaman, dan bukan memperhitungkan suku bunga pinjaman dan suku bunga tabungan sebagai sistem bejana berhubungan yang tak terpisahkan.
Selain itu, dengan semakin banyaknya pengaruh yang mengatakan bahwa bunga adalah riba dan untuk itu riba harus dihindari, maka semakin menghilangkan kesadaran bahwa penurunan tingkat suku bunga seakan-akan tidak berbahaya dan bahkan terpuji untuk dilakukan. Bank Indonesia semakin konservatif tanpa memahami esensi penurunan tingkat suku bunga itu sendiri.
Apa yang dilakukan oleh Bank Indonesia dapat dikatakan sebagai langkah latah untuk mengekor apa yang dilakukan oleh otoritas moneter (baca: bank sentral) RRT dan Thailand yang menurunkan tingkat suku bunga karena krisis Virus Korona. Bank Indonesia melupakan fakta dasar bahwa loan to deposit ratio sudah memasuki wilayah yang sangat berbahaya, yang sangat berpotensi membuat bank-bank lainnya menjadi bermasalah seperti bank BTN.
Perkembangan LDR di Indonesia memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat. Tahap pertama peningkatan angka LDR terjadi pada awal tahun 2013 hingga pertengahan 2014 karena penurunan tabungan yang relatif tajam, kemudian terjadi koreksi angka LDR akibat perbankan mengalami penurunan loan dan peningkatan pertumbuhan tabungan.
Peningkatan angka LDR kembali terjadi pada awal 2018 hingga akhirnya angka LDR kembali meningkat hingga mencapai rekor tertingginya yang lebih disebabkan loan tumbuh lebih tinggi dari deposit. Diperkirakan angka LDR dapat terus meningkat lebih tinggi lagi. Konsekuensinya, krisis likuiditas diperkirakan akan berpotensi menghantam perbankan Indonesia. Pada 2018, pertumbuhan loan dan deposit menukik (baca: pertumbuhan negatif yang tajam) dua kali secara bersamaan.
Pergerakan-pergerakan tandem yang menukik tajam tersebut merupakan refleksi dari telah terjadinya krisis likuiditas di perbankan nasional, di mana loan mengalami penurunan karena deposit juga mengalami penurunan.
Berdasarkan fungsi permintaan akan investasi, produk domestic bruto (PDB) riil memengaruhi secara positif gross fixed capital formation (pembentukan modal tetap bruto).
Sementara itu, tingkat suku bunga tidak memengaruhi pembentukan modal tetap bruto secara statistik. Implikasi kebijakannya adalah investasi di Indonesia hanya akan efektif dinaikkan jika dan hanya jika PDB Indonesia ditingkatkan. Sementara itu, kebijakan tingkat suku bunga tidak efektif untuk memengaruhi investasi di Indonesia.
Hasil forecast memperlihatkan angka LDR akan terus meningkat pada periode satu tahun ke depan dan tidak ada tandatanda akan menurun. Bahkan angka LDR memiliki potensi untuk menembus angka 1.
Implikasinya, likuiditas perbankan akan sangat ketat dalam satu tahun ke depan. Secara netto, LDR meningkat dari posisi Juli 2019 hingga posisi Juni 2020 yang diakibatkan oleh peningkatan loan yang lebih tinggi dari deposit.
Berdasarkan hasil estimasi ekonometrik yang penulis lakukan memperlihatkan bahwa bahaya dari penurunan tingkat suku bunga bagi perekonomian Indonesia adalah pertama, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan memberikan dampak kepada tingkat suku bunga tersebut untuk terus mengalami tren penurunan secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal keduabelas selanjutnya.
Kedua, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan memberikan dampak negatif secara akumulatif bagi pertumbuhan ekonomi pada kuar tal kedelapan hingga kuartal keduabelas di mana akumulasinya penurunan yang semakin dalam dengan berjalannya waktu.
Ketiga, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan memberikan dampak negatif secara akumulatif bagi konsumsi swasta pada kuartal ketujuh hingga kuartal keduabelas dengan akumulasi penurunan yang semakin dalam dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian, penurunan tingkat suku bunga terlebih dahulu memukul konsumsi swasta sebelum akhirnya memukul pertumbuhan ekonomi. Keempat, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan membuat financial account dalam balance of payments menjadi defisit secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal kesebelas dengan puncak defisit terjadi pada kuartal keempat.
Kelima, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan menekan current account dalam balance of payments untuk menjadi defisit.
Tekanan defisit tersebut secara akumulatif menjadi semakin besar dengan berjalannya waktu. Berbeda dengan financial account yang puncak defisitnya terjadi pada kuartal keempat, pada current account puncak defisitnya terus bergerak meninggi dengan berjalannya waktu.
Keenam, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan membuat real ef fective exchange rate Indonesia semakin tidak kompetitif secara akumulatif pada kuartal keempat hingga keenam. Periodepaling tidak kompetitifnya terjadi pada kuartal ketiga.
Ada baiknya Bank Indonesia belajar dari otoritas moneter Singapura yang tidak melakukan penurunan tingkat suku bunga dalam menghadapi ancaman Virus Korona karena penurunan tingkat suku bunga memiliki oppor tunity cost yang sangat tinggi, yang justru berpotensi menciptakan krisis likuiditas dalam sistem perbankan nasional.
*) President Director Center for Banking Crisis
Sumber : Investor Daily
"obral" - Google Berita
February 24, 2020 at 11:39AM
https://ift.tt/2SSlh1d
BI Jangan Obral Suku Bunga - Investor Daily
"obral" - Google Berita
https://ift.tt/2T6flSP
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "BI Jangan Obral Suku Bunga - Investor Daily"
Post a Comment